Dalam buku “Lahirnya Tragedi”, Nietzsche menjelaskan kelahiran seni tragedi dalam bangsa Yunani, dan juga kematiannya. Buah dari semangat keteraturan dan kemabukan yang saling melengkapi. Manusia yang membutuhkan tragedi dalam dialektika hidup Dyonisian dan Apollonian.

Dionysos adalah dewa anggur dan kemabukan. Bagi Nietzsche, dia adalah lambang kehidupan di sini dan kini yang selalu mengalir. Mentalitas Dyonisian adalah semangat yang melepaskan diri dari ikatan norma dan aturan, kebebasan yang melupakan diri untuk mengikuti dorongan-dorongan hidup, sebuah ekstasi bahagia yang memabukkan.

Mentalitas ini kerap dilabeli sebagai “penyakit rakyat” dan menimbulkan rasa kasihan atau sikap jijik bagi orang-orang yang Nietzsche sebut “kekurangan pengalaman hidup maupun karena kebodohan”. Nietzsche menambahkan, “dengan bernyanyi dan menari, manusia menyatakan diri sebagai anggota komunitas yang lebih tinggi”, lalu “ ia merasa seperti sesosok dewa, ia sendiri kini berjalan-jalan dengan bergairah dan gembira sewaktu melihat para dewa berjalan-jalan di dalam mimpi”, selanjutnya “manusia bukan lagi seorang seniman, ia telah menjadi sebuah karya seni”.

Apollo adalah dewa terang, etis, dan berkuasa atas ilusi indah yaitu keteraturan. Bagi Nietzsche, dia adalah citra keteguhan terhadap principium individuationis dan pengendalian diri. Nietzsche menggunakan banyak kata ilusi dalam penjelasannya terhadap Apollonian bahkan menyebutkan jika Apollonian itu seperti sebuah selubung yang menyembunyikan dunia Dyonisian dari pandangannya.

Yang Nietzsche maksud sebagai ilusi adalah keteraturan dan ketertiban merupakan sebuah konsep yang dibuat manusia untuk mengatur manusia. Mentalitas Apollonian adalah semangat keteraturan, keseimbangan, bentuk, dan ketertiban.

Mentalitas Apollonian dibuat untuk menyeimbangkan mentalitas Dyonisian bangsa Yunani. Sebagai upaya pengendalian, keduanya harus berpadu seimbang. Dunia di luar Apollonian adalah dunia orang-orang biadab. Sesuatu yang berlebihan dianggap sebagai roh permusuhan bagi Apollonian. Mentalitas Apollonian ini yang membawa manusia ke abad pencerahan atau pemikiran ilmiah yang maju.

Tragedi Yunani menemui kematiannya secara tragis di tangannya sendiri. Mentalitas Apollonian membunuh tajam Mentalitas Dyonisian. “Dan karena engkau meninggalkan Dionysos, akhirnya Apollo pun meninggalkanmu”, keseimbangan yang merupakan semangat Apollonian hancur karena idealisme Apollonian membunuh bagian-bagian Dyonisian. Menyisakan manusia dengan aturan-aturan yang kaku dan ilusi-ilusi.

“Meskipun engkau membangkitkan semua nafsu dari ranjang mereka dan membujuk mereka ke dalam lingkunganmu...mereka hanya akan mempunyai nafsu-nafsu bertopeng yang palsu, dan hanya mengucapkan pidato-pidato bertopeng yang palsu”. Kematian tragedi Yunani meninggalkan suatu kekosongan yang besar. Dengan sisa-sisa Mentalitas Dyonisian yang “kotor” menjelma dalam diri manusia-manusia modern.

**Note: Diambil dari bagian tugas mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia.